TIADA hujan, tiada panas, angin pun serasa tak mengalir di antara kesejukan Kota Bukittinggi.
Namun tiba-tiba saja, hawa panas menyeruak dari kota wisata tersebut.
Bagaimana tidak, Walikota Bukittinggi Ramlan Nurmatias dan pasangannya Ibnu Asis serta Sekretaris Daerah Rismal Hadi, sontak menjadi perhatian publik.
Ada apa gerangan dengan ketiga petinggi pemerintahan tersebut? Semuanya terkait dengan pemberhentian tiba-tiba sejumlah pejabat teras di sana.
Tak tanggung tanggung, tujuh kepala dinas masing-masing : Linda Feroza (Kepala dinas kesehatan), Teddy Hermawan (kepala BKPSDM), Egie Pratama Mulya (kepala BKD), Ahda Hidayat (kepala dinas PMPTSP), Yogi Astarian (Kepala dinas perhubungan), Wahyu Bestari (Kepala dinas Pasar dan perdagangan) dan Ebiyu Leris (Kepala dinas Perkim) “dipaksa” menanggalkan jabatannya.
Selain tujuh kepala dinas dengan eselonering II tersebut, M. Iqbal (Kabag Umum), Beri (Sekretaris dinas Pasar dan perdagangan) serta Jeki (Sekretaris dinas Pendidikan) pun setali tiga uang nasib mereka.
Pemberhentian massal tersebut bak tsunami yang mengguncang gedung megah di atas Bukik Gulai Bancah, apalagi, dari informasi yang beredar, Suryadi (Kadis Kominfo), Melwizardi (Sekretaris DPRD) dan Joni Peri (Kasatpol PP) pun termasuk pejabat yang tengah menunggu giliran untuk “dilengserkan”.
Kepala daerah sebagaimana diatur oleh sejumlah ketentuan tentunya punya hak prerogatif untuk melakukan hal itu.
Kebijakan tersebut diatur dalam perundang undangan seperti:
- UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN): Mengatur tentang manajemen ASN, termasuk pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pejabat.
- UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah: Mengatur tentang otonomi daerah dan pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat dan daerah, yang berdampak pada kewenangan pengangkatan pejabat di daerah.
- UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, yang telah diubah dengan UU Nomor 43 Tahun 1999: Mengatur tentang wewenang pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian PNS.
Tak hanya undang-undang, Peraturan Pemerintah (PP) juga mengatur secara lebih rinci tentang pengangkatan pejabat, seperti:
- PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS: Menjabarkan lebih lanjut ketentuan mengenai pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian PNS.
- PP Nomor 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan PNS dalam Jabatan Struktural: Mengatur tentang pengangkatan PNS dalam jabatan struktural, termasuk jabatan yang diisi oleh walikota.
Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) juga mengatur tentang kewenangan kepala daerah dalam pengangkatan pejabat, misalnya:
Permendagri Nomor 74 Tahun 2016: Mengatur tentang Pelaksana Tugas Gubernur, Bupati, dan Walikota dalam hal kewenangan pengangkatan pejabat.
Permendagri Nomor 1 Tahun 2018 tentang Pelaksana Tugas dan Kewenangan Gubernur, Bupati, dan Walikota: Mengatur tentang pendelegasian wewenang pengangkatan pejabat.
Walikota sebagai kepala daerah memiliki wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan pejabat di lingkungan pemerintah daerah, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Namun, dalam beberapa kasus, wewenang ini mungkin perlu dikonsultasikan atau mendapatkan persetujuan dari pihak lain, seperti gubernur atau menteri, tergantung pada jenis jabatannya.
Namun demikian, penting untuk dicatat, bahwasanya pengangkatan pejabat pun pemberhentiannya, harus dilakukan sesuai dengan prosedur dan persyaratan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Ada larangan bagi kepala daerah untuk melakukan penggantian pejabat dalam jangka waktu tertentu setelah pelantikan, untuk menjaga kesinambungan pemerintahan.
Sesuai dengan kapasitasnya sebagai kepala daerah, walikota memang berhak untuk menyusun kabinetnya agar visi dan misi yang telah dijanjikannya bisa terlaksana dengan baik.
Tapi harus diingat, pemberhentian banyak kepala dinas dalam suatu daerah dapat menimbulkan dampak negatif pada jalannya roda pemerintahan dan pelayanan publik.
Persoalan yang mungkin timbul bisa berupa gangguan dalam pelaksanaan program pembangunan daerah, penurunan kualitas pelayanan publik, serta terganggunya stabilitas pemerintahan daerah.
Berikut adalah beberapa potensi sanksi dan dampaknya:
1. Gangguan Pelaksanaan Program Pembangunan:
Hilangnya Kepemimpinan:
Pemberhentian banyak kepala dinas dapat menyebabkan kekosongan kepemimpinan di berbagai dinas. Ini dapat menghambat koordinasi, pengambilan keputusan, dan pelaksanaan program-program pembangunan yang telah direncanakan.
Keterlambatan Proyek:
Proses pengisian jabatan yang baru dan adaptasi pejabat baru membutuhkan waktu. Akibatnya, proyek-proyek pembangunan yang sedang berjalan bisa tertunda atau bahkan terhenti.
Hilangnya Efisiensi:
Kepala dinas yang baru mungkin membutuhkan waktu untuk memahami birokrasi dan kebijakan yang ada. Ini dapat menyebabkan penurunan efisiensi dalam pengelolaan anggaran dan pelaksanaan program.
2. Penurunan Kualitas Pelayanan Publik:
Terhambatnya Pelayanan:
Jika banyak kepala dinas diberhentikan, pelayanan publik di berbagai sektor seperti kesehatan, pendidikan, infrastruktur, dan lainnya bisa terganggu.
Ketidakpercayaan Publik:
Pemberhentian massal dapat menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah. Masyarakat khawatir pelayanan publik akan semakin buruk.
3. Stabilitas Pemerintahan Terganggu:
Konflik Internal:
Pemberhentian kepala dinas dapat menimbulkan konflik internal di lingkungan pemerintahan daerah. Ketidakpuasan dan persaingan antar pejabat bisa meningkat.
Kinerja Birokrasi Menurun:
Ketidakpastian dalam kepemimpinan dan kebijakan dapat menyebabkan kinerja birokrasi menurun. Pegawai mungkin merasa tidak termotivasi atau tidak fokus pada pekerjaan mereka.
4. Sanksi Administratif dan Hukum:
Teguran dan Sanksi Disiplin:
PNS yang diberhentikan karena pelanggaran disiplin, termasuk kepala dinas, bisa dikenai sanksi administratif seperti teguran, penundaan kenaikan pangkat, atau bahkan pemberhentian dengan tidak hormat.
Sanksi Hukum:
Jika pemberhentian terkait dengan tindak pidana, seperti korupsi, kepala dinas bisa dikenai sanksi pidana sesuai dengan hukum yang berlaku.
Penyelidikan dan Audit:
Pemberhentian massal juga bisa memicu penyelidikan dan audit oleh lembaga pengawas seperti BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) untuk memastikan tidak ada penyalahgunaan wewenang atau keuangan.
Perlu dicatat bahwa pemberhentian kepala dinas harus dilakukan sesuai dengan prosedur yang berlaku dan dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap jalannya pemerintahan dan pelayanan publik.
Pemerintah daerah perlu melakukan evaluasi yang komprehensif sebelum mengambil tindakan ini dan memastikan bahwa penggantian pejabat dilakukan dengan cepat dan transparan.
Walau sejauh ini pemberhentian massal tersebut tidak atau belum menimbulkan goncangan, Walikota, Wakil Walikota pun Sekda Kota Bukittinggi perlu lebih arif dalam mengambil kebijakan.
Sebab, pemaksaan kehendak atas dasar kebijakan tak semua menghasilkan perbaikan dalam waktu cepat. ***