SECARA umum, masyarakat Minangkabau mempunyai berbagai jenis permainan tradisional yang telah diwariskan secara turun-temurun dan masih dimainkan hingga sekarang.
Tercatat sebanyak 27 jenis permainan tradisional yang terdapat di Sungai Pagu Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat. Salah satu di antaranya adalah permainan sipak rago.
Permainan Sipak Rago adalah permainan anak nagari yang menggunakan bola rago sebagai alat permainan.
Pada awalnya, bola rago terbuat dari anyaman daun kelapa yang dijalin dan berbentuk bulat. Namun, bola rago dewasa ini dibuat dari kulit rotan sebagaimana digunakan untuk olahraga sepak takraw.
Permainan ini berasal dari zaman Kesultanan Melayu pada tahun 634-713, di mana permainan ini hanya dimainkan oleh raja-raja dalam memperebutkan tempat terhormat di dalam kerajaan.
Namun belakangan, telah beralih menjadi permainan rakyat yang bisa dimainkan oleh siapa saja tanpa terkecuali.
Selain itu, sipak rago adalah permainan yang dimainkan oleh para elit Kerajaan Malaka pada abad ke 15 M.
Saat itu, rakyat hanya sebagai penonton keluarga kerajaan yang sedang bermain.
Kemudian mereka mempelajari dan memainkannya dengan memakai pakaian yang dilengkapi tutup kepala serta tidak memakai alas kaki.
Peralatan Permainan Rakyat Sipak Rago
1. Bola
Bola rago terbuat dari daun kelapa muda atau rotan. Namun, pada zaman dahulu rotan sangat langka dan harganya sangat mahal sehingga bola rago dibuat dari daun kelapa muda saja. Kini, bola rago sudah dibuat dari rotan
Bola ini dijalin menggunakan tiga buah rotan yang berdiameter 15 cm.
Jalinan itu dibentuk dan diikat menjadi sebuah bola yang terikat satu sama lainnya.
2. Lapangan Permainan
Lapangan sipak rago merupakan lapangan tanah berpasir yang melingkar dan berdiameter antara 5-7 m.
Di pinggir lapangan diberikan batasan berupa tanah yang ditinggikan di luar lapangan atau dalam bentuk tembok yang dicor di pinggir lingkaran.
Setelah dicor, kemudian ditaburkan pasir yang memiliki ketebalan 15-20 cm.
Uniknya, permainan ini hanya dilakukan pada sore sampai malam hari, biasanya hanya sampai pukul 22.00 WIB.
Oleh karena itu, lapangan sipak rago diberikan penerangan. Dulunya penerangan menggunakan lampu togok atau lampu minyak yang terbuat dari bambu memakai bahan bakar minyak tanah.
Saat ini, sipak rago sudah menggunakan lampu listrik sebagai alat penerangan. Lampu ini digantungkan dengan tali menggunakan dua tiang yang terbuat dari bambu.
Tiang ini didirikan di luar lapangan sekitar 1-2 meter, kemudian di kedua tiang diikat tali.
Setelah itu barulah lampu digantungkan di tengah-tengah tali di lapangan.
3. Pakaian Pemain Sipak Rago
Masyarakat biasanya memakai pakaian silat sebagai pakaian untuk bermain sipak rago di acara perlombaan maupun penampilan.
Pakaian ini terdiri dari celana galembong, baju guntiang cino, ikat pinggang, serta ikat kepala.
Pada dasarnya pemain tidak diharuskan untuk memakai alas kaki, akan tetapi kebanyakan pemain telah menggunakan sepatu sebagai alas kaki dewasa ini.
4. Tim Sipak Rago
Pemain sipak rago terdiri dari 5-7 pemain, di mana setiap pemain boleh melakukan sipak yang dikuasainya.
Terdapat sebuah pemimpin yang bertugas untuk mengatur sipak yang harus dilakukan saat bola rago datang.
Sipak rago dimainkan oleh laki-laki yang berusia remaja hingga tua. Biasanya pemain sipak rago memiliki rentang usia mulai dari 15-50 tahun.
Nilai-nilai Budaya yang Terkandung dalam Sipak Rago
Sipak rago mengandung nilai-nilai budaya, di antaranya adalah nilai kerja sama dan kekompakan.
Kerja sama ini dapat dilihat dari para pemain yang memiliki keikhlasan dalam berbagi.
Kekompakan tim berpartisipasi untuk membentuk tim yang kompak dan masing-masing pemain ikhlas untuk saling berbagi bola. Kaitannya dengan budaya adalah jika hidup dalam masyarakat maka harus selalu bekerja sama dengan orang lain.
Nilai lainnya yang dikandungnya adalah nilai religius. Nilai ini dapat dilihat dari bola rago yang memiliki dua sisi bola pada bagian dalam dan luar.
Sisi luar berbentuk bola yang bisa dilambungkan, sedangkan bagian dalam adalah sebuah ruang yang kosong.
Ini menggambarkan manusia yang memiliki sisi lahir dan batin dengan istilah lain, yaitu ‘di lahia bisa di caliak an, di batin samo di rasoan ‘ yang berarti di lahir bisa terlihat jelas, di batin sama dirasakan.
Selain itu ada nilai yang menghubungkan antar kelompok masyarakat, di mana dalam permainan ini tidak ada yang disebut dengan lawan.
Lawan hanyalah diri sendiri yang harus bersabar dengan teknik yang harus dikuasai oleh pemain.
Nilai moral dan etika yang terkandung dalam permainan ini tergambar dalam ungkapan yang berbunyi ‘ harimau dek urang, kambiang juo dek awak ‘ yang berarti harimau datang dari orang lain, maka disampaikan dengan baik-baik darinya.
Ungkapan ini bermakna bahwa seberapa jahatnya perbuatan orang lain, maka sebaiknya jangan membalas kejahatan itu dengan kejahatan, balaslah hanya dengan kebaikan saja.
Nilai terakhir yang terkandung adalah nilai keindahan atau estetika yang dapat dilihat dari liukan tubuh dan kaki yang lentur dalam melantunkan bola dengan sigap dan kuat. Keindahan tersebut dapat dilihat dari jenis sipak yang dimainkan. ( val )
Bahasa Indonesia:
Bahasa Indonesia:
Bahasa Indonesia:
Bahasa Indonesia:
Bahasa Indonesia:
Bahasa Indonesia:
Bahasa Indonesia: