Kue bagea adalah salah satu camilan tradisional khas Indonesia Timur yang menyimpan kekayaan rasa, sejarah, dan budaya yang luar biasa.
Camilan ini secara umum dikenal sebagai makanan khas Papua, namun popularitasnya juga sangat kental di daerah Maluku, khususnya di wilayah Ambon dan sekitarnya.
Hal ini disebabkan karena latar belakang sejarah dan budaya antara Papua dan Maluku yang saling terkait dan memiliki banyak kesamaan dalam tradisi kuliner.
Bagea dibuat dari bahan dasar sagu, yang merupakan makanan pokok bagi masyarakat di wilayah timur Indonesia.
Sagu tidak hanya menjadi sumber karbohidrat utama, tetapi juga menjadi simbol kehidupan dan identitas budaya masyarakat lokal.
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Papua dan Maluku, sagu hadir dalam berbagai bentuk olahan, mulai dari papeda hingga camilan-camilan kering seperti kue bagea.
Tekstur bagea yang keras di luar namun lembut di dalam ketika dimakan bersama teh atau kopi panas menjadikannya unik dan berbeda dari kue kering pada umumnya.
Rasa khas dari rempah-rempah seperti cengkeh, kayu manis, dan terkadang jahe memberikan aroma yang kuat dan kehangatan tersendiri saat dinikmati, menjadikannya pilihan camilan yang ideal terutama saat cuaca dingin atau sore hari yang santai bersama keluarga.
Bagea bukan hanya sekadar camilan biasa, melainkan bagian dari warisan budaya kuliner yang mencerminkan cara hidup dan nilai-nilai masyarakat Papua dan Maluku.
Proses pembuatannya pun sarat akan filosofi dan kearifan lokal, dimulai dari pemilihan bahan baku sagu yang berkualitas, pengolahan rempah-rempah tradisional, hingga cara pemanggangan yang masih banyak dilakukan secara tradisional dengan tungku api.
Seringkali, bagea dibuat secara gotong royong dalam keluarga atau komunitas kecil, terutama saat ada perayaan adat atau hari besar keagamaan seperti Natal di Maluku atau pertemuan suku di Papua. Dalam konteks ini, bagea memiliki makna sosial yang sangat mendalam karena menjadi simbol kebersamaan dan identitas kelompok.
Selain itu, penyajian bagea kepada tamu dianggap sebagai bentuk penghormatan, karena camilan ini dianggap sebagai makanan bernilai tinggi yang dibuat dengan usaha dan perhatian yang besar. (*/lec)