TANAH tentunya merupakan faktor penting dalam kehidupan manusia.
Karena tanah memiliki fungsi produksi dan ekonomi disamping fungsi sosial dan teritorial.
Tak mengherankan jika dimanapun manusia berada di bumi ini begitu membutuhkan kepemilikan tanah, bahkan semenjak zaman tradisional saat masyarakat masih hidup berkelompok berdasarkan suku bangsanya.
Demikian juga halnya dengan masyarakat adat Minangkabau.
Nenek moyang suku bangsa ini awalnya tinggal menetap di Nagari Pariangan Tanah Datar.
Kemudian seiring pertambahan populasinya mereka mengembangkan wilayahnya ke daerah-daerah di sekitaran Gunung Marapi, Gunung Singgalang dan Gunung Sago, yang dikenal dengan Luhak Nan Tigo (Tanah Datar, Agam dan 50 Kota sekarang).
Semuanya merupakan dataran tinggi yang dalam bahasa Minang disebut dengan istilah darek (daratan).
Karena geografis wilayahnya yang merupakan dataran tinggi, maka tentu sebagian besar penduduknya menggantungkan hidup dan penghidupannya dari tanah, baik berupa sawah, ladang, hasil hutan dan jenis hasil bumi lainnya yang terdapat di permukaan ataupun di kedalamannya.
Maka setiap nenek moyang orang Minang menemukan daerah baru dalam perluasan daerah asalnya itu mereka juga akan membuka lahan untuk kebutuhannya yang dikenal dengan manaruko.
Hal yang sama juga mereka lakukan ketika pengembangan wilayah Minangkabau meluas ke luar Luhak Nan Tigo tepatnya daerah pesisir pantai Sumatera Barat yang dikenal dengan daaerah rantau Minangkabau.
Di daerah rantau pun mereka tetap membuka dan menaruko lahan baru. Dan yang menarik adalah nenek moyang membuka daerah atau manaruko lahan baru bukan berpikir hanya untuk kepentingan mereka saat itu saja, namun berorientasi jauh ke depan untuk kebaikan dan keberlansungan kehidupan anak cucu mereka di kemudian hari.
Tanah dan lahan yang dibuka oleh nenek moyang masing–masing kaum itulah kemudian yang menjadi tanah ulayat bagi sebuah kaum di Minangkabau.
Bagi masyarakat Minangkabau yang terkenal dengan pola kehidupan kolektifnya, artinya menjalani kehidupan secara bersama – sama dalam satu kaum, maka tanah tidak lagi hanya berfungsi sebagai tempat produksi, namun mempunyai banyak fungsi lainnya, di antaranya sebagai tempat berdirinya rumah gadang dan untuk memberikan penghidupan anggota keluarga kaum secara bersama – sama.
Mereka juga membuat pandam pekuburan masing–masing kaum bagi anggota kaum yang meninggal dunia di atas tanah kaumnya sendiri.
Maka akhirnya tanah yang dimiliki oleh satu kaum menjelma menjadi salah satu simbol eksistensi dan kelas sosial kaum tersebut.
Artinya, kaum yamg memiliki tanah ulayat yang luas dianggap kaum yang “ berpunya “ karena memiliki sumber ekonomi yang luas , tempat hidup dan tempat berkubur yang terjamin.
Tanah ulayat yang ditaruko dan dibuka oleh nenek moyang orang Minangkabau itu diwariskan turun temurun kepada anak kemenakannya menurut sistem matrilineal (kepada anak perempuan dengan kepemilikan kolektif) dan pengelolaannya diatur oleh salah seorang mamak dari kaum itu atas nama kaum yang yang disebut dengan mamak kepala waris.
Jadi tidak ada dan tidak boleh seseorang di antara anggota kaum memiliki dan menguasai sendiri tanah ulayat kaumnya termasuk mamak kepala waris.
Ini memperlihatkan bahwa tanah ulayat disiapkan nenek moyang benar–benar untuk menjamin keberlanjutan kehidupan kaumnya secara keseluruhan.
Aturan kepemilikan yang tidak boleh memiliki tanah ulayat secara pribadi itu juga diperkuat dengan tidak boleh menjual dan menggadaikannya kecuali ketika sudah tidak ada lagi jalan keluar pada empat keadaan, yaitu rumah gadang katirisan (rumah gadang ketirisan), gadih gadang indak balaki (gadis tua belum bersuami), maik tabujua di tangah rumah (mayat terbujur di tengah rumah), dan pambangkik batang tarandam (pembangkit batang terendam).
Berkat aturan kepemilikan dan penggunaaan tanah ulayat sebagaimana telah ditetapkan nenek moyang orang Minangkabau itu, maka sebagian besar tanah ulayat itu masih bisa dipertahankan keberadaannya di ranah Minang Sumatera Barat ini, walaupun tidak bisa dipungkiri ada juga sebagian yang sudah beralih hak miliknya menjadi kepemilikan perorangan di luar kaum karena jual – beli.
Namun itu terjadi barangkali karena sesuatu kondisi dan sudah melalui pertimbangan yang matang serta kesepakatan seluruh angota kaum.
Semoga saja tanah ulayat yang masih ada bisa tetap terjaga keberadaannya karena bagaimanapun tanah ulayat itu adalah bukti eksistensi suatu kaum dan bahkan eksistensi Minangkabau di wilayahnya sendiri. ***