BANYAK media televisi, cetak, hingga radio yang terpaksa mengevaluasi ulang model bisnis mereka untuk menyesuaikan diri dengan era digital.
Transisi ke model digital-first menuntut kecepatan, fleksibilitas, dan pendekatan baru terhadap distribusi konten serta monetisasi.
Namun, proses adaptasi ini tidak selalu berjalan mulus dan sering kali menelan korban, yakni karyawan yang harus kehilangan pekerjaannya.
Fenomena PHK di Kompas TV dan sejumlah perusahaan media lainnya, hanyalah bagian kecil dari gejolak yang terjadi di industri media saat ini yang disebut juga dengan istilah layoff.
Secara umum, layoff adalah tindakan PHK yang dilakukan bukan karena kesalahan atau pelanggaran dari karyawan, melainkan karena perusahaan perlu melakukan penghematan, efisiensi, atau restrukturisasi bisnis.
Langkah ini sering kali diambil dalam kondisi darurat keuangan atau perubahan strategi besar-besaran.
Dalam kasus Kompas TV, layoff merupakan dampak langsung dari tekanan ekonomi dan penurunan daya saing televisi dalam era digital yang serba cepat.
Perusahaan harus merombak struktur organisasinya agar tetap bisa bertahan, meski harus mengorbankan program-program ikonik dan sejumlah pekerja berpengalaman.
Kehilangan pekerjaan tidak hanya berarti kehilangan penghasilan, tetapi juga identitas dan rutinitas profesional yang telah mereka bangun bertahun-tahun.
Layoff massal ini menjadi pengingat bahwa industri media harus terus berinovasi, tidak hanya dalam konten, tetapi juga dalam cara menjangkau audiens dan menjaga keberlangsungan finansialnya.
Sementara itu, pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya perlu memastikan bahwa para pekerja media yang terdampak tetap mendapatkan perlindungan yang layak, termasuk akses pada pelatihan ulang dan kesempatan kerja baru. (*/ted)