SUKU KOROWAI merupakan salah satu suku asli yang mendiami beberapa kabupaten di wilayah adat Anim-Ha di Papua bagian selatan.
Seperti di Kabupaten Merauke, Boven Digoel, Asmat dan Kabupaten Mappi. Daerah-daerah tersebut saat ini menjadi bagian dari Papua Selatan.
Suku Korowai merupakan salah satu suku yang hidupnya berpindah-pindah. Meski begitu, mereka tidak bisa berpindah ke lokasi yang bukan hak ulayatnya.
Seperti apa saja asal usul masyarakat Koroway, budayanya, dan kehidupannya sehari-hari, mulai dari sejak dahulu hingga saat ini.
Dikutip dari buku berjudul ‘Potret Manusia Pohon‘ yang ditulis oleh Hanro Yonathan Lekitoo, Orang Korowai juga disebut Klufo Fyumanop.
Klufo artinya orang, sedangkan Fyumanop artinya jalan di atas tulang kaki.
Klufo Fyumanop diartikan sebagai orang yang biasa berjalan kaki. Mereka menamakan ini untuk membedakan dirinya dari orang Suku Citak Mitak menggunakan perahu sebagai alat transportasi utama.
“Mereka hanya berjalan kaki dan membuat rumah di pohon-pohon tinggi. Bahkan, dalam perang pun mereka hanya berjalan kaki,” kata Lekitoo seperti yang tertulis dalam bukunya tersebut.
Buku yang diterbitkan pada 2012 itu juga menjelaskan mengenai sebutan Korowai yang sebenarnya berasal dari orang Belanda.
Berdasarkan sejumlah sumber bahwa orang Belanda lebih mudah menyebut kata Klufo dengan sebutan Korowai.
Namun demikian, orang Korowai sesungguhnya menyebut dirinya Klufo Fyumanop.
Orang luar membedakan orang Korowai dalam dua kategori, yakni orang Korowai Besi dan orang Korowai Batu.
Orang Korowai Besi adalah orang Korowai yang sudah menerima peradaban modern dengan alat-alat besi, seperti kapak, besi, pisau besi, parang besi dan lain sebagainya
Sedangkan Korowai Batu adalah mereka yang masih hidup dalam zaman batu dan belum tersentuh oleh peradaban modern.
Namun demikian, kesatuan bahasa orang Korowai atau Klufo sebagai identitas utama yang membuat mereka sadar bahwa mereka adalah satu yakni Klufo.
“Selain identitas bahasa, ruang hidup mereka yang terletak di antara dua sungai besar, yakni Sungai Dairom Kabur dan Sungai Sirek menciptakan rasa identitas teritorial di antara kalangan komunitas Korowai atau Klufo,” ungkap Lekitoo, masih dalam bukunya.
Bukan hanya Suku Kamoro yang dikenal dengan budaya meramu, Suku Korowai juga merupakan salah satu suku yang secara tradisi mempunyai budaya meramu.
Antropolog Universitas Cenderawasih, Hanro Lekitoo mengungkapkan, Suku Korowai dikenal sebagai peramu yang sehari-hari meramu di wilayah adatnya masing-masing.
Tipe kehidupan Suku Korowai dibagi atas marga atau klien yang secara turun-temurun menjalani kehidupan sehari-harinya dengan meramu di dusun-dusunnya.
Suku Korowai merupakan salah satu suku yang sangat menjunjung tinggi dan menghargai batas wilayah adat dari suku-suku lain yang ada di wilayah Papua bagian selatan.
Mereka meramu dengan sistem berpindah-pindah, tetapi hanya di kawasan hak ulayatnya sesuai dengan klien dan marganya masing-masing,” ungkap Lekitoo.
Doktor lulusan Universitas Indonesia ini menjelaskan, Suku Korowai sangat menghargai batas adatnya masing-masing.
Misalnya, jika mereka berburu kemudian memanah babi, lalu babi tersebut lari dan mati di tanah adat klien atau marga yang lain, maka mereka harus meminta izin terlebih dahulu kepada pemilik tanah tempat babi tersebut mati.
“Mereka sangat menghargai hak ulayat, sehingga kalau mereka panah babi saja, kemudian babi lari dan mati di wilayah adat yang lain, maka mereka harus meminta izin terlebih dahulu,” jelas Lekitoo.
Kalau tidak meminta izin, kata Lekitoo, bisa menimbulkan konflik antara marga atau klien yang ada di Suku Korowai.
Hal ini lantaran secara turun-temurun mereka sangat menghargai batas wilayah antara klien dan marganya masing-masing.
“Harus kasih tahu dan minta maaf kepada pemilik hak ulayat terlebih dahulu. Karena ini masuk dalam rumah orang lain. Logika kita orang modern kan begitu, sehingga sebelum mengambilnya, harus meminta izin,” katanya.
Suku Korowai juga merupakan salah satu suku di Papua bagian selatan yang berpindah-pindah (nomaden).
Meski pun demikian, suku ini tidak bisa berpindah-pindah secara sembarangan. Suku Korowai hanya berpindah di lokasi yang merupakan hak ulayatnya.
Mereka tidak bisa berpindah dan membangun kehidupan di lokasi yang bukan hak ulayatnya.
Penulis buku Manusia Pohon ini mengatakan, setiap penjaga marga atau klien yang ada di setiap wilayah adat mengetahui tentang batas wilayah adatnya masing-masing.(*/kps)