TANAH Sumatera Barat atau akrab disebut Minangkabau, sebagaimana wilayah lainnya di Indonesia juga memiliki budaya dan tradisi yang khas.
Namun ada satu hal pasti yang tidak sama dengan daerah lainnya di Nusantara.
Dimana sistem kekerabatan di alam Minangkabau menganut sistem Matrilineal atau garis keturunan menurut darah ibunya.
Ya, di Ranah Bundo, seorang anak terlahir dengan etnis atau suku yang membingkai orang tua perempuannya.
Jika ibunya bersuku Chaniago, maka suku sang anak juga Chaniago. Sebaliknya jika ibunya Piliang. otomatis si anak juga Piliang.
Secara umum, suku di Ranahminang cukup banyak. Namun suku tua atau suku induknya hanya empat yaitu Koto, Piliang, Bodi dan Chaniago.
Hal ini tergambar dalam sebuah pepatah usang : Pisang Sikalek Kalek Hutan, Pisang Timbatu nan Bagatah. Koto Piliang Inyo Bukan, Bodi Chaniago Inyo Antah.
Mari kita ulas secara khusus Suku Chaniago. Suku ini merupakan salah satu suku induk di Minangkabau yang diturunkan oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang.
Suku Chaniago memiliki falsafah hidup demokratis yang menghargai prinsip “bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek mufakat. nan bulek samo digolongkan, nan picak samo dilayangkan”.
Pepatah ini berartikan, “bulat air karena pembuluh, bulat kata karena kesepakatan”.
Dalam masyarakat Suku Chaniago, semua keputusan yang akan diambil untuk kepentingan bersama harus melalui proses musyawarah untuk mencapai kesepakatan.
Falsafah tersebut juga tercermin dalam arsitektur rumah adat bodi Chaniago yang ditandai dengan tidak adanya anjuang pada kedua sisi bangunan Rumah Gadang.
Hal ini menunjukkan bahwa status sosial seseorang tidak mempengaruhi perlakuan antara individu yang berbeda.
Yang membedakan tinggi rendahnya seseorang dalam masyarakat suku Chaniago adalah seberapa besar tanggung jawab yang diemban oleh individu tersebut.
Salah satu prinsip lain dalam mencapai kesepakatan dalam pengambilan keputusan di suku Chaniago adalah “aia mambusuik dari bumi”, yang berarti suara yang harus didengarkan adalah suara yang berasal dari bawah atau suara rakyat kecil.
Suara ini kemudian dibahas dalam musyawarah untuk mencapai kata mufakat, dan setelah itu keputusan tersebut ditetapkan oleh pimpinan tertinggi, baik raja maupun penghulu.
Dari ulasan di atas bisa dikatakan, anak kemenakan Chaniago atau biasa disebut Rang Chaniago, adalah pewaris dan pengawal demokrasi di tanah Minang.***








