PULAU SUMBAWA di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) tak hanya dikenal dengan beragam poteni wisata alamnya yang indah. Pulau terbesar kedua di Nusa Tenggara Barat itu juga identik dengan kuda.
Segala hal yang berkaitan dengan kuda bisa jadi ada di sana, mulai dari peternakan kuda, susu kuda, kuliner berbahan daging kuda hingga pacuan kuda.
Untuk pacuan kuda, ini tak sekadar balapan, melainkan ada nilai tradisi di dalamnya.
Seperti halnya suku Sasak di pulau Lombok yang terkenal dengan tradisi Peresean sebagai simbol ketangkasan para pemudanya, masyarakat Samawa di Sumbawa, dan Mbojo di Bima memiliki tradisi serupa.
Tradisi itu juga biasanya untuk meraih status sosial tinggi di masyarakat.
Bagi masyarakat Sumbawa, ada tradisi Maen Jaran yang berarti pacuan kuda. Di Bima juga ada tradisi Pacoa Jara serupa pacuan kuda.
Direktur Marketing Communication Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) NTB Adit R Alfath menjelaskan bahwa Maen Jaran bagi masyarakat Sumbawa lebih dari pada sekedar olah raga berkuda.
Kegiatan ini merupakan bagian penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Sumbawa dan telah menjadi sebuah tradisi turun temurun selama berabad abad.
”Kedekatan masyarakat Sumbawa dengan kuda telah berlangsung sejak zaman kerajaan sebagai sarana transportasi, berburu dan bahkan untuk mendukung kegiatan pertanian,” kata Adit.
Maen Jaran biasanya diadakan pada saat musim tanam tiba. Semua kuda terbaik dari seluruh penjuru pulau dikumpulkan dan para pemuda atau joki dipersiapkan untuk beradu kecepatan dalam menunggangi kuda kuda tersebut.
”Kuda-kuda yang dilibatkan dalam kegiatan ini tidak boleh sembarangan, semuanya harus merupakan kuda asli Sumbawa,’’ kata Adit..
Salah satu ciri khas yang menarik dari Maen Jaran adalah adanya pelantunan Lawas (pantun khas Sumbawa) yang disebut Ngumang. Ngumang merupakan sesumbar kemenangan untuk menyemangati para joki dan menghibur penonton yang hadir. (*/tmp)