Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengungkapkan sejumlah kepala desa di Indonesia tidak tamat Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Hal itu diungkapkan Tito saat rapat anggaran bersama Komisi II DPR RI, di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (8/7).
Awalnya, Tito membenarkan adanya kesulitan program pembangunan di desa, namun dia tidak bisa menyalahkan kepala desa, karena mereka telah dipilih oleh rakyat.
“Karena kepala desa ini dipilih rakyat, bisa jadi dia pintar orangnya, pendidikan tinggi, tapi hampir beberapa persen, kalau tidak salah, sekitar 30-40 persen yang tidak tamat SMP kalau saya tidak salah,” kata Tito.
Dia kemudian meminta salah satu stafnya mencari data yang lebih tepat, dan didapat sekitar 20 persen yang tidak menyelesaikan sekolah SMP.
Namun, Tito mengatakan, tingkat pendidikan yang rendah belum tentu berarti tidak berpendidikan, karena bisa saja seseorang yang menjadi kepala desa belajar secara otodidak.
“Tapi, kita tidak berarti kalau dia tidak sekolah, ya berarti kurang; ada juga yang otodidak, bisa juga,” ucap dia.
Oleh sebab itu, Kemendagri kemudian membuat Program Penguatan Pemerintahan dan Pembangunan Desa (P3PD).
Program ini telah berjalan dengan bantuan World Bank yang menyasar 70.000 kepala desa se-Indonesia.
“Sudah kita laksanakan, dua gelombang hampir 70.000 (kepala desa),” kata Tito.
Namun, program ini sempat terhenti ketika pesta demokrasi 2024 berjalan, karena Tito khawatir program ini akan dicap sebagai gerakan politik yang merusak netralitas kepala desa.
“Mau ada pilpres, kita hentikan, jangan sampai dipelintir seolah-olah kegiatan penguatan kepala desa ini harus dilakukan, tapi ada kegiatan pemilihan ini dua bulan sebelumnya kita setop,” kata dia.
“Nah, ini ada sisa, sehingga ada program yang tidak tereksekusi karena ada hambatan kemarin 2024 itu ada Pilkada. Kalau dia pilkada ulang, otomatis tidak melakukan kegiatan kepala desa, takut nanti dikira kegiatan politik,” tambah Tito. ***