Dimana bumi dipijak, disana langit dijunjung. Rasanya, tak ada masyarakat Minang yang tidak mengenal pepatah tersebut.
Meskipun pepatah usang, namun cukup mampu membentengi masyarakat Minang terutama yang mengadu nasib di tanah rantau.
Hal ini pula yang selalu dipegang teguh oleh Efriadi Sikumbang (57), Kepala Dinas Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan Kota Bukittinggi dalam menjalankan tugasnya selaku abdi negara.
”Selain pepatah tersebut, saya pun selalu berupaya bekerja sesuai aturan yang berlaku agar tak ada kekeliruan atau kesalahan yang timbul saat bekerja,” ucap pria yang akrab disapa Senpai Fred ini dengan mimik serius.
Hal lain yang juga diterapkan oleh pria yang telah 35 tahun mengabdi sebagai abdi negara itu adalah filosofi 3 Au.
”Apa filosofi 3 Au tersebut? Pertama adalah bisa diajak Bagurau, kedua bisa diajak Kasurau dan terakhir bisa diajak Kalapau,” jelasnya merinci.
Meskipun kesannya sangat sederhana namun menurut Efriadi, ada pesan tersirat dengan makna mendalam dari setiap elemen Au tersebut.
”Bisa diajak Bagurau maknanya adalah setiap anak Minang memiliki kemampuan untuk berdiplomasi dan berdiskusi dengan argumentasi yang jelas. Artinya bukan sekadar bercanda,” imbuhnya.
Bisa diajak Kasurau, secara harafiah sudah jelas bahwasanya masyarakat Minang adalah masyarakat yang Islami dengan falsafah Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah.
”Jadi jelas bahwasanya masyarakat Minang adat dan budayanya berdasarkan agama dan agama itu sendiri sendinya adalah Al-Qur’an,” kata Efriadi dengan mimik serius.
Sementara makna dari Kalapau adalah, anak Minang merupakan komponen masyarakat dengan nilai dan norma sosial yang tinggi dan peduli dengan sesama.
Efriadi tak sekadar bicara, karakter anak Minang sejati memang mengalir kuat ditubuhnya.
Sehingga selama mendedikasikan kemampua yang dimiliki sebagai abdi negara, tak sekalipun kesalahan menghinggapinya.
”Bekal agama dan pelajaran hidup menjadi penuntun dalam hidup saya, apalagi beladiri yang saya dalami, mampu membentuk karakter saya menjadi percaya diri,” jelas pemegang Sabuk Hitam Dan V di perguruan Inkanas ini.
Efriadi yang lahir di Tigo Baleh Bukittinggi pada 16 Februari 1968, memang figur sederhana namun memiliki karakteristik yang kuat.
Sebab, selain sebagian besar karir kepegawaian dihabiskan di tengah masyarakat, pun dia selalu berupaya memberikan yang terbaik untuk daerahnya.
”Saya bekerja secara ikhlas dan sesuai ketentuan yang berlaku, jikalau ada yang keliru itu murni karena kelemahan saya. Namun semua kelebihan yang saya punya, itu karena Allah,” ucap Senpai Fred mengakhiri. (ted)