DALAM kehidupan di dunia modern yang begitu menjunjung kenyamanan dan kemudahan, Massimo Pigliucci—seorang filsuf kontemporer dan salah satu tokoh utama kebangkitan filsafat Stoik modern—mengajukan pemikiran yang berani dan menantang: “Kesulitan adalah pelatih kehidupan, bukan musuh yang harus dihindari.
Ungkapan ini bukan sekadar retorika filosofis. Ia menyentuh inti dari cara kita memaknai penderitaan, hambatan, dan tantangan dalam kehidupan sehari-hari.
Jadikan Kesulitan Sebagai Guru
Pigliucci mengadopsi warisan pemikiran Stoik klasik, seperti yang ditemukan dalam tulisan-tulisan Epictetus dan Seneca, yang menekankan bahwa manusia tidak pernah bisa mengendalikan apa yang terjadi dari luar, tetapi selalu bisa memilih bagaimana meresponsnya.
Dalam pandangan ini, kesulitan bukanlah sesuatu yang harus ditakuti atau dihindari.
Sebaliknya, kesulitan adalah seperti pelatih yang keras namun jujur. Ia membentuk ketahanan, menguji prinsip, dan memperkuat karakter.
Seneca menulis: “Seorang pelaut yang tidak pernah menghadapi badai tidak akan pernah tahu bagaimana cara menavigasi lautan.” Pigliucci menegaskan bahwa tantangan bukanlah pertanda bahwa kita gagal, tetapi justru indikasi bahwa kita sedang tumbuh.
Mengapa Kesulitan Dibutuhkan?
Dalam Stoikisme, kesulitan dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia.
Mereka tidak hanya tak terelakkan, tetapi juga perlu untuk membentuk kebajikan.
Berikut adalah beberapa alasan mengapa kesulitan sangat penting menurut pandangan Stoik dan pemikiran Pigliucci:
1. Melatih Disiplin Mental
Ketika kita menghadapi krisis, kita ditantang untuk berpikir jernih, tenang, dan terfokus.
Kesulitan memaksa kita untuk memilah mana yang bisa kita kendalikan dan mana yang harus kita lepaskan.
2. Membentuk Karakter
Tidak ada integritas, keteguhan hati, atau keberanian yang tumbuh di tanah yang subur dan nyaman. Karakter sejati hanya dibentuk saat kita diuji.
3. Menyadarkan Akan Keterbatasan
Kesulitan membantu kita mengenali bahwa dunia tidak berputar sesuai kehendak pribadi. Ini adalah pelajaran penting dalam kerendahan hati dan pengendalian ego.
Bagaimana Menghadapi Kesulitan?
Dalam bukunya How to Be a Stoic (2017), Pigliucci menyarankan pendekatan praktis berikut untuk menyambut kesulitan sebagai pelatih kehidupan:
Visualisasi Negatif (premeditatio malorum):
Setiap pagi, bayangkan hal-hal buruk yang mungkin terjadi hari itu. Bukan untuk menjadi pesimis, tetapi untuk mempersiapkan mental kita agar tetap tangguh.
Evaluasi Diri Harian:
Tinjau kembali keputusan dan sikap kita setiap malam. Apakah kita bereaksi dengan emosi yang tidak perlu, atau justru tumbuh dari tantangan yang muncul?
Latihan Kesabaran:
Alih-alih menghindari situasi tidak nyaman, hadapilah dengan niat untuk belajar dan memperkuat batin.
Perspektif Tentang Rasa Sakit
Salah satu warisan terbesar Stoikisme adalah redefinisi makna penderitaan. Pigliucci melanjutkan warisan ini dengan mengajak kita untuk tidak bertanya “mengapa ini terjadi padaku?”, tetapi “apa yang bisa aku pelajari dari ini?”
Kehidupan bukan tentang menghindari badai, melainkan belajar menari di tengah hujan.
Kesulitan sebagai Investasi Diri
Massimo Pigliucci mengingatkan bahwa kesulitan bukanlah hambatan, tetapi investasi jangka panjang dalam kebijaksanaan dan ketahanan diri.
Seperti atlet yang melatih tubuhnya dengan beban, manusia bijak melatih jiwanya dengan cobaan.
Saat kita mulai memandang tantangan sebagai kesempatan, bukan ancaman, kita akan menemukan bahwa kesulitan tidak menghalangi kita dari hidup yang baik—justru membentuk kita untuk menjalaninya dengan penuh arti. ***