TEPUNG TAWAR adalah salah satu tradisi yang berasal dari etnik Melayu dan masih dilestarikan hingga kini.
Tradisi ini sangat erat kaitannya dengan kebudayaan Melayu yang melambangkan kebahagiaan, keselamatan, kesejahteraan, dan berbagai hal baik lainnya.
Tradisi ini sering dilaksanakan dalam berbagai acara seperti pernikahan, khitanan, selametan, dan upacara lain yang berfungsi sebagai ungkapan rasa syukur.
Dikutip dari jurnal yang berjudul “Tradisi Tepung Tawar: Integrasi Agama dan Kebudayaan pada Masyarakat Melayu di Sumatera Utara”, Memahami asal-usul tradisi tepung tawar di Sumatera Utara masih menjadi misteri yang belum sepenuhnya terjelaskan.
Tradisi ini tidak terlepas dari pengaruh siapa yang membawanya ke wilayah tersebut.
Letak strategis Nusantara menarik berbagai bangsa datang dengan membawa budaya mereka masing-masing, termasuk dari India.
Pengaruh India inilah yang menyebabkan berkembangnya banyak tradisi Hindu di Sumatera Utara.
Menurut Marsden, tradisi tepung tawar dibawa oleh pengaruh Hindu yang dianut oleh raja-raja Melayu sekitar abad ke-7 atau ke-8 M. Ini diperkuat dengan ditemukannya bangunan candi di wilayah Karo dan Tapanuli (Padang Lawas).
Setelah Islam menyebar di wilayah ini, kepercayaan sebelumnya mulai bergeser dengan agama yang dibawa oleh pedagang dan mubaligh.
Kedatangan Islam mengubah kebiasaan etnik Melayu sehingga mereka menerima agama baru tersebut.
Orang-orang Melayu yang tidak mau masuk Islam berpindah ke wilayah pegunungan yang kini dikenal sebagai etnik Toba dan Karo.
Pelaksanaan tradisi ini melibatkan penaburan ramuan secara berputar sambil membaca salawat, diikuti dengan percikan ramuan perinjis ke telapak tangan kedua mempelai.
Tradisi tepung tawar, yang berasal dari kepercayaan Hindu, telah disesuaikan oleh etnik Melayu agar sesuai dengan syariat Islam.
Tradisi ini juga merupakan media penyembahan kepada Tuhan melalui ritual dan doa sebagai wujud syukur dan kebahagiaan.
Hingga kini, tradisi tepung tawar menjadi bagian tak terpisahkan dari kebudayaan Melayu di Sumatera Utara, di mana hampir setiap acara penting selalu melibatkan tradisi ini untuk memohon keberkahan dan keselamatan.
Tepung Tawar sebagai Simbol Integrasi Agama dan Budaya
Tradisi tepung tawar merupakan bagian integral dari kebudayaan Melayu dan masih dilaksanakan hingga kini.
Biasanya dilakukan dalam acara adat seperti pernikahan, akikah, kehamilan, pindah rumah, sembuh dari sakit, dan acara syukur lainnya.
Tradisi ini diyakini membawa kesejahteraan bagi yang menerimanya, persembahan simbolis dengan makna tersirat, sering diadakan sebagai wujud syukur dan kebahagiaan.
Pelaksanaannya memiliki ciri khas dalam bahan, peralatan, dan amalannya, serta dipengaruhi oleh animisme yang telah diselaraskan dengan ajaran Islam.
Tradisi tepung tawar mengandung nilai simbolis seperti kedamaian, keharmonisan, kemandirian, keuletan, dan keikhlasan, yang diwakili oleh berbagai bahan seperti daun sedingin, bunga rampai, beras bertih, beras kuning, dan beras putih.
Ramuan perinjis dalam tradisi ini juga memiliki makna khusus untuk daun-daun yang digunakan.
Sebagai sarana permohonan doa dan restu, tradisi ini menunjukkan integrasi antara kebudayaan dan agama, dan masih dipraktikkan oleh etnik Melayu di Sumatera Utara.
Tradisi ini mempererat hubungan keluarga besar kedua mempelai dan menunjukkan penghormatan kepada alam, serta merupakan simbol keluhuran budaya yang telah diadaptasi sesuai dengan ajaran Islam.
Alat dan Bahan yang Digunakan
Dilansir dari jurnal berjudul “Tradisi Tepung Tawar: Akulturasi Islam Dan Budaya Melayu Dalam Prosesi Pernikahan Masyarakat Melayu di Kota Tanjung Balai”, sebelum melaksanakan upacara Tepung Tawar untuk pasangan pengantin, keluarga terlebih dahulu menyiapkan alat dan bahan yang diperlukan.
Alat dan bahan yang digunakan antara lain sebagai berikut:
Nampan Tembaga:
Dalam tradisi Tepung Tawar, nampan ini melambangkan kemewahan, merujuk pada masa Kesultanan Asahan di Kota Tanjung Balai.
Nampan tembaga ini hanya dimiliki oleh keluarga kerajaan karena harganya yang mahal dan sulit didapatkan.
Semua bahan untuk Tepung Tawar nantinya ditempatkan dalam wadah kecil yang sesuai dengan nampan tersebut.
Beras Kuning:
Beras ini direndam dalam parutan kunyit sehingga berwarna kuning, melambangkan rasa syukur dan kesucian (dari warna putih beras).
Bertih:
Padi yang disangrai hingga mengembang mirip popcorn, simbol dari berkembang biak.
Daun Perenjis:
Beberapa jenis daun seperti daun juang-juang, daun gandarusa, dan daun percung diikat dengan benang tujuh warna.
Daun-daun ini dikumpulkan dalam jumlah ganjil, minimal tiga helai, dan diikat menjadi satu.
Air Mawar:
Air ini digunakan untuk memercikkan pasangan pengantin dengan daun perenjis.
Aroma mawar melambangkan kedamaian, kebahagiaan, dan keberuntungan.
Bunga Rampai:
Campuran irisan daun pandan dengan kuntum bunga berbagai warna dan jenis, diberi parfum.
Biasanya digunakan tujuh hingga sepuluh helai daun pandan untuk keseimbangan. Bunga rampai melambangkan kebahagiaan, kasih sayang, kemakmuran, dan kesuburan, serta diharapkan dapat memekarkan cinta yang abadi bagi pasangan pengantin.
Tata Cara Pelaksanaan Tepung Tawar
Berdasarkan sumber sebelumnya, Tradisi Tepung Tawar di Kota Tanjung Balai dan wilayah Melayu lainnya memiliki ciri khas yang berbeda.
Biasanya dilakukan pada pagi hari sekitar pukul 10.00 hingga 11.00 WIB.
Namun, belakangan ini, masyarakat di Kota Tanjung Balai mengubah waktu pelaksanaannya menjadi siang hari, sekitar pukul 13.00 hingga 14.00 WIB ketika tamu undangan mulai berdatangan.
Upacara ini diakhiri dengan pembacaan doa oleh tokoh agama setempat.
Proses Tepung Tawar dalam pernikahan masyarakat Melayu di Kota Tanjung Balai dilakukan dengan tata cara sebagai berikut:
Mempelai masuk dan bersanding di pelaminan, pengantin pria duduk di sebelah kanan pengantin wanita.
Penepung tawar dari kedua pihak keluarga, dalam jumlah ganjil seperti 3, 5, 7, 9, atau 13 orang, melakukan prosesi ini dengan urutan tertua atau yang berkedudukan lebih tinggi didahulukan, diikuti yang lebih muda, sambil diiringi qasidah atau barzanji untuk mengajarkan sopan santun dan etika.
Penepung tawar menggunakan tangan kanan dan memulai dengan memberikan tawar kepada pengantin pria.
Beras kuning dan Bertih ditaburkan di atas kepala pasangan dengan gerakan dari kiri ke kanan sambil berdoa dan membaca shalawat Nabi, sebagai simbol restu dan kebahagiaan bagi mereka.
Air mawar direnjiskan dari bahu kiri ke paha kanan, lalu dari paha kiri ke bahu kanan, melambangkan kesiapan untuk memikul tanggung jawab.
Terakhir, bunga rampai (kuntum bunga dari berbagai jenis dengan daun pandan yang diiris tipis dan diberi parfum) ditaburkan ke arah pengantin.
Pengantin mengucapkan terima kasih dengan mengangkat kedua tangan sebagai tanda penghargaan kepada penepung tawar yang memberikan doa restu.
Tradisi ini diakhiri dengan pemberian kain sarung yang baru kepada pengantin, yang dilingkarkan di badan mereka. Hal ini bertujuan untuk menguatkan ikatan mereka dalam pernikahan.***