Suku Dayak di Kalimantan mengenal sebuah tradisi unik yang bernama tradisi kuping panjang, di mana kecantikan seorang wanita tidak dinilai dari wajah, namun dari telinga mereka.
Dalam tradisi ini, panjang telinga dianggap sebagai simbol kecantikan dan status sosial.
Proses pemanjangan telinga dimulai sejak usia muda dengan cara mengenakan cincin telinga yang terbuat dari logam, kayu, atau bahan lainnya
Untuk diketahui, tradisi kuping panjang sendiri merupakan simbol kecantikan wanita suku dayak.
Masyrakat dayak sendiri menyebut tradisi ini dengan sebutan Telingaan Arru.
Tradisi telingaan aruu dimulai sejak bayi, dengan ritual mucuk penikng atau penindikan daun telinga sebagai tanda awal.
Namun, telinga bayi tidak langsung dipanjangkan; terlebih dahulu, telinga bayi akan dipasangi benang sebagai pengganti anting-anting.
Setelah luka dari tindikan sembuh, benang tersebut diganti dengan pintalan kayu gabus. Ukuran pintalan kayu gabus ini akan diperbesar setiap minggu.
Kayu gabus dipilih karena kemampuannya untuk mengembang ketika terkena air, sehingga dapat memperbesar lubang pada daun telinga secara bertahap.
Setelah lubang pada daun telinga cukup besar, gadis akan dikenakan belaong, yaitu anting-anting tradisional yang terbuat dari tembaga.
Ada dua jenis belaong yang dipakai: hisang semhaa, yang dikenakan di sekitar daun telinga, dan hisang kavaat, yang dipasang pada daun telinga.
Jumlah belaong yang dikenakan akan ditambahkan secara bertahap, sehingga lubang pada daun telinga semakin lama semakin membesar.
Penambahan belaong dilakukan sesuai dengan aturan yang mempertimbangkan usia dan status sosial pemakainya.
Belaong ini tidak pernah dilepas dan terus dipakai baik saat beraktivitas maupun tidur.
Meskipun demikian, terdapat batasan ukuran panjang daun telinga; untuk wanita, panjangnya tidak lebih dari dada.
Tradisi ini mencerminkan nilai estetika dan status sosial dalam masyarakat Dayak, meskipun kini semakin jarang dipraktikkan seiring dengan modernisasi dan perubahan sosial. ***