Penduduk Desa Wajak, Kecamatan Boyolangu, Kabupaten Tulungagung yang mayoritas bermata pencaharian sebagai petani memiliki kesenian Tiban.
Tradisi ini dilakukan untuk meminta hujan ketika kemarau panjang.
Tradisi Tiban dilakukan dengan mempertunjukkan adu kekuatan menggunakan cambuk. Lalu, bagaimana asal-usul tradisi Tiban yang ada di Desa Wajak?
1. Asal-usul Kesenian Tiban di Desa Wajak
Desa Wajak berada di bagian selatan Kabupaten Tulungagung. Tiban merupakan salah satu kesenian yang dihasilkan dari peradaban kebudayaan masyarakat Desa Wajak.
Kesenian ini melibatkan adu kekuatan dan daya tahan tubuh dengan menggunakan cambuk. Cambuk yang digunakan dibuat dari sada aren sebagai senjata pemain.
Istilah Tiban ada pada masa pemerintahan Adipati Nilo Suwarno atau Surontani ke-II. Tepatnya, istilah Tiban sudah ada sejak sekitar abad ke-15.
Alkisah, Tumenggung Surontani II murka mendapat fakta bahwa sang putri yakni Dewi Roro Pilang mengandung di luar pernikahan. Sang putri mengaku dihamili oleh Gusti Panembahan.
Tumenggung Surontani II yang murka kemudian meminta pertanggungjawaban Gusti Panembahan melalui utusannya. Sambil menunggu kabar, ia kemudian menggelar hiburan rakyat melalui pertunjukan adu kekuatan yang dinamai Tiban.
Pertunjukan Tiban merupakan strategi Tumenggung Surontani II untuk mencari prajurit yang tangguh. Pencarian prajurit ini tidak lain untuk menghadapi serangan.
Bersamaan dengan pertunjukan tersebut, Wajak pada masa itu dilanda kemarau yang panjang. Oleh karenanya, para warga kemudian memanjatkan doa kepada Yang Maha Kuasa agar diturunkan hujan.
Selain berdoa, para prajurit pun membuat persembahan jenang seribu atau dikenal dengan nama dawet.
2. Perkembangan Tiban pada Masa Penjajahan Belanda
Pada masa penjajahan Belanda, tradisi Tiban terus berlanjut bahkan mendapat persetujuan dari pemerintah Belanda.
Alasan persetujuan tersebut karena Tiban dapat dijadikan sebagai alat untuk adu domba.
Serta adanya kekuatan magis atau gaib yang membuat Belanda kagum akan kesenian tersebut.
3. Perkembangan Tiban pada Masa Kini
Kesenian Tiban masih terus berkembang hingga kini. Tradisi ini utamanya digelar oleh masyarakat Desa Wajak setiap musim kemarau.
Masyarakat Desa Wajak percaya bahwa Tiban ini bisa menurunkan hujan.
Selain sebagai tradisi untuk meminta hujan, kesenian ini juga biasanya digelar pada bulan Suro yang merupakan bulan suci untuk melakukan ritual.
Kesenian Tiban digelar pada siang hari sekitar pukul 12.30 WIB. Tempat digelarnya Tiban di tanah lapang dengan panggung terbuka berbentuk lingkaran.
4. Pertunjukan Kesenian Tiban di Desa Wajak
Sebelum pertunjukan Tiban dimulai, para sesepuh atau tetua adat Desa Wajak akan melakukan ziarah ke Makam Tumenggung Surontani II. Ziarah ini ditujukan untuk meminta izin gelaran pertunjukan Tiban.
Selain itu, terdapat persembahan jenang dawet, minuman yang terbuat dari tepung beras serta campuran gula merah cair dan santan.
Sajian dari beras ini dimaknai sebagai simbol rasa syukur masyarakat Desa Wajak.
Minuman ini kemudian dibagikan kepada para peniban (pemain) dan para pelandang (wasit) Desa Wajak, agar pemain tidak merasakan kesakitan ketika terkena lecutan.
Pertunjukan Tiban ini dilakukan oleh dua orang peniban atau dua orang pemain. Pertunjukan ini akan diawasi oleh satu atau dua orang wasit yang biasa disebut dengan Landang.
Para peniban harus bertelanjang dada karena cambuk hanya diperbolehkan hanya pada badan (dada sampai pinggang).
Tidak diperbolehkan mencambuk bagian atas tubuh, seperti kepala dan wajah. Setiap babaknya, peniban diberi tiga kali cambukan. Artinya setiap babak terdapat enam cambukan.
Bagi peniban yang melanggar peraturan, peniban akan dikeluarkan dari arena dan tidak diperbolehkan mengikuti pertunjukan tiban.
Pertunjukan Tiban ini juga diiringi dengan musik gamelan Jawa yang terdiri dari kendhang gedhe, saron, kenthongan, ketuk, kenong, dan gong suwuk.
Sementara sambuk atau ujong dibuat secara tumpul pada bagian ujungnya. Ujong ini sendiri berasal dari sada aren atau kurang lebih 15 batang lidi aren yang kemudian dipilin menjadi satu.
Beberapa bagian diberi suli (pengikat yang dibuat dari anyaman kulit pelepah aren atau dari kulit bambu yang dianyam halus).
Setelah permainan selesai, para peniban dan pelandang akan bersalaman. Hal ini ditujukan agar kerukunan antarmasyarakat dapat terjalin dengan baik.
Mereka pun saling meminta maaf karena Tiban digunakan sebagai ritual bukan pertarungan.
Setelah bermaaf-maafan, sesepuh Desa Wajak akan memimpin doa bersama agar Tiban ini dapat mendatangkan rahmat dari Tuhan Yang Maha Kuasa dengan diturunkannya hujan. ***